BALI EXPRESS, DENPASAR – Begitu banyak tradisi yang ada di Bali dengan beragam makna. Soal ritual Ngulapin misalnya, sungguh sangat banyak filosofi hidup yang terkandung di dalamnya. Bagaimana sejatinya upacara yang sering dilaksanakan ketika ada orang apes atau mengalami musibah di jalanan ini?
Ngulapin berasal dari kata ulap. Ulap adalah bahasa Jawa kuna dan juga bahasa Bali, yang artinya silau. Silau yang dimaksudkan di sini adalah seperti keadaan mata ketika menatap atau memandang sinar matahari. Kalau dijadikan kata majemuk menjadi ulap-ulap. “Ulap-ulap dalam bahasa Bali berarti suatu alat yang berbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, terbuat dari secarik kain putih yang berisi tulisan hurup-hurup keramat yang mempunyai kekuatan magis,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (7/2).
Lebih lanjut dijelaskan Satra, ulap-ulap biasanya itu diletakan pada halaman depan dari sebuah bangunan, di bawah atap pada kolong rumah, pada waktu upacara ngulap ngambe bangunan tersebut. “Maksudnya, untuk memohon kehadapan Tuhan yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi, agar jika ada unsur-unsur yang ingin mengganggu, menjadi silau atau ulap. Karena silau, maka unsur-unsur tersebut sulit untuk mengganggu manusia,” terangnya.
Upacara Ngulapin merupakan bagian dari upacara Manusa Yadnya yang dilakukan untuk menormalisasi kehidupan seseorang, setelah mengalami kejadian yang mengejutkan, seperti halnya kecelakaan atau masalah lainnya. “Jika dibiarkan tanpa dilakukan suatu upacara, dapat membuat kehidupan seseorang menjadi tidak normal, seperti halnya bingung atau bisa mengakibatkan kegilaan,” imbuhnya.
Biasanya upacara Ngulapin ini lebih sering dijumpai ketika ada seseorang yang mengalami kecelakaan. Ketika kecelakaan yang mengakibatkan benturan, lanjutnya, bayu yang ada pada diri manusia akan terlepas. Ini tentu akan berdampak negatif, karena bayu menjadi penggerak kehidupan manusia. “Upacara pangulapan inilah yang akan mengembalikan bayu, sehingga hidup orang yang bersangkutan bisa kembali normal seperti sedia kala,” terangnya. Upacara pangulapan bisa dilakukan di perempatan terdekat, yang tujuannya untuk memanggil bagian diri yang tertinggal di tempat kejadian. Namun, tak jarang masyarakat melaksanakan upacara Ngulapin di tempat kejadian.
Selain itu, upacara Ngulapin juga dilakukan untuk menyeimbangkan empat saudara yang ada dalam diri manusia yang dikenal dengan sebutan catur sanak, yakni Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. Jika manusia terkejut, lanjutnya, maka keempat saudara yang ada pada diri seseorang akan menjadi tidak seimbang. Keseimbangan inilah yang akan dikembalikan melalui berbagai sarana yang digunakan dalam upacara pangulapan. Selain itu, dengan upacara Ngulapin, dapat mengurangi atau menghilangkan trauma pada seseorang yang mengalami kecelakaan atau kejadian yang mengejutkan, sehingga yang bersangkutan dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasa.
Selain untuk upacara orang yang kecelakaan, di Bali dikenal beberapa macam upacara Ngulapin yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Pertama adalah Ngulapin Pitra. Upacara ini dilakukan sebelum pengabenan, yakni upacara ngangkid atau ngulapin di setra. Tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah untuk mencari galih atau tulang yang akan diaben. Upacara ini khusus dilaksanakan jika mayat seseorang dikubur terlebih dahulu sebelum diaben.
Selain akan melaksanakan Ngaben, Ngulapin Pitra juga dilaksanakan ketika hendak melaksanakan upacara Atma Wedana atau Mamukur, dan dilaksanakan di tepi pantai.. “Setelah pelaksanaan ini selesai maka terjadilah macam-macam versi, ada yang diajak pulang untuk sembahyang pada sanggah kemulan khususnya Ring Bhatara Hyang Guru. Selain itu, ada juga yang langsung diaben,” jelas Satra.
Selanjutnya adalah Ngulapin Pretima. Yang dimaksud dengan upacara Ngulapin ini, apabila pretima itu pernah jatuh. Entah itu disebabkan karena disenggol oleh binatang, seperti kucing ketika dilaksanakan upacara di sekitar pratima itu. Selain itu, bisa juga jatuh karena tempatnya tidak baik atau dibawa oleh manusia. Pratima yang pernah dicuri juga harus dilaksanakan pangulapan, karena pratima itu sudah leteh (sial) yang mengakibatkan aura magisnya telah meninggalkan pratima tersebut. Khusus untuk Pratima, setelah Ngulapin biasanya dilaksanakan kembali upacara Guru Piduka, atau permohonan maaf atas kesalahan atau keteledoran. Selain kedua jenis pangulapan yang disebutkan, ada beberapa pangulapan lagi yang biasa dilaksanakan masyarakat Bali. Beberapa di antaranya adalah ketika seseorang baru sembuh dari sakit keras dan untuk orang meninggal dunia. Kedua Ngulapin ini biasanya dilaksanakan di rumah sakit.
Diakuinya, di Bali banyak versi yang menjelaskan tentang bagaimana tetandingan banten pangulapan. Hal ini sangat erat kaitanya dengan Sima, Dresta atau kebiasaaan masyarakat dalam suatu daerah, Namun, upacara Pangulapan biasanya dipuput oleh pemangku. Bahkan di beberapa daerah cukup dilaksanakan oleh tetua keluarga saja. Banten Pangulapan yang umum digunkan, yaitu menggunakan dasar tempeh, di atasnya diletakkan taledan gede menggunakan buah-buahan, tumpeng kecil sebanyak 11 biji yang diletakkan di atas ceper, untek (tumpeng tetapi ujungnya tidak tajam) 22 biji diletakkan di atas ceper, kojong rangkadan, daksina 1, ketipat kelanan, ajuman atau sodaan alit, tulung sesayut, peras alit, panyeneng alit, wewakulan masampyan nagasari, sasedep tepung tawar, lis peselan, padma 1, sangga urip,tegteg, canang pahyasan, coblong 1, payuk pere 1.
Dan yang tak kalah penting adalah panimpug yang menggunakan tiga ruas bambu, untuk selanjutnya dibakar dan menghasilkan bunyi ledakan. Bunyi inilah yang digunakan untuk memangil bayu atau tenaga manusia yang terlepas akibat kecelakaan. “Selain itu, panimpug ini merupakan sarana untuk memanggil Bhuta Kala agar berkenan menjadi saksi upacara dan tidak mengganggu jalannya upacara.” tutup Satra.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber