Pada hukum adat Bali pengangkatan anak dikenal dengan beberapa istilah seperti meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata meras berasal dari kata peras yaitu semacam sesajen atau banten untuk pengakuan / pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua angkatnya.
Disamping istilah tersebut di atas ada pula yang memakai istilah atau menyebut dengan ngidih sentana / ngidih pianak. Penyebutan tersebut mengandung pula pengertian sama dengan pengertian meras senatana ataupun meras pianak.
Beberapa sarjana memberi pengertian tentang pengangkatan anak yaitu :
Pengertian pengangkatan anak di Bali yang dimaksud dengan anak angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya menurut adat setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya disini segala hak dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya akan dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak kandung.
Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum Adat Bali seperti tersebut di atas dapat dijabarkan :
- Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung.
- Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya.
Pengertian melepaskan si anak adalah perbuatan berupa permintaan calon orang tua angkat terhadap orang tua kandung si anak atau kerabat si anak. Permintaan itu untuk melepas si anak dari
kekuasaan orang tua kandungnya / kerabatnya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam keluarga orang tua angkat untuk didudukkan sebagai pelanjut keturunan. Perbuatan hukum ini termasuk pula pengumuman atau siaran yaitu pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat adat maupun kepada kerabat-kerabat si anak itu. Adapun maksud dari pengumuman itu agar ada kata sepakat untuk melepas si anak tersebut dan perbuatan tersebutpun menjadi terang.
Pengertian memasukkan si anak ke dalam kerabat orang tua angkatnya : tercermin dalam perbuatan yang berupa pelaksanaan upacara pemerasan atau mewidiwidana. Secara keagamaan hal ini mengandung arti bahwa si anak akan dilepas dari kekuasaan baik dari orang tua kandungnya / kerabat maupun leluhurnya untuk selanjutnya dimasukkan dalam lingkungan kerabat orang tua angkatnya.
Disamping itu upacara tersebut juga mengandung arti bahwa si orang tua angkat selanjutnya akan mengakui si anak tadi sebagai anak kandung sendiri. Mulai saat itulah timbul hubungan hukum antara si anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Dengan demikian secara yuridis anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak lagi ada hubungan waris mewaris tapi ia mewaris pada orang tua angkatnya.
Bila kita membandingkannya dengan pengangkatan anak di luar daerah Bali misalnya yang mempunyai sistem kekeluargaan parental seperti di daerah Jawa, maka pengangkatan anak tidaklah mempunyai konsekuensi yuridis seperti di Bali. Pada masyarakat adat di Jawa kedudukan anak angkat hanya sebagai anggota keluarga orang tua angkatnya, ia tidak berstatus sebagai anak kandung.
Alasan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali
Pada mulanya alasan pengangkatan anak di Bali dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak. Di samping alasan tersebut juga sebagai pancingan agar dapat melahirkan anak kandung, dan keabsahan kekuatan hukum pengangkatan anak tidak terganggu apabila nantinya ibu angkat melahirkan anak kandung. Dengan demikian pengangkatan anak dengan sendirinya mempersaudarakan anak kandung dengan anak angkat.
Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh anak ( putra ), yang diharapkan dapat melanjutkan peribadatan keluarga seperti melakukan persembahyangan di pura, melaksanakan pemujaan terhadap leluhur mereka. Dengan tujuan agar keluarga tersebut selamat dan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Begitu pentingnya keturunan ( anak ) ini dalam suatu perkawinan sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai peristiwa sebagai akibat ketiadaan anak seperti perceraian, poligami dan pengangkatan anak itu sendiri.
Demikian dikatakan bahwa apabila dalam suatu perkawinan telah ada keturunan ( anak ) maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dimana proses pelanjutan generasi dapat pula berlangsung.
Masayarakat hukum adat Bali adalah menganut sistem kekeluargaan patrilineal, artinya keturunan selalu ditarik hanya melalui garis pihak laki-laki saja yang dalam bahasa Bali disebut dengan garis kepurusa.
Sistem kekeluargaan patrilineal pada masyarakat Bali merupakan suatu prinsip, suatu sikap yang magis religius. Adapun ciri-ciri hukum kekeluargaan patrilineal di Bali tampak dalam penguasaan kepada anak laki-laki untuk melaksanakan pemujaan leluhur, dan mengabdi kepada desa yang banyak memerlukan tenaga bagi warga desa.
Konsekwensi dengan dianutnya sistem kekeluargaan patrilineal dalam masyarakat hukum Bali, menyebabkan kedudukan anak laki-laki adalah sangat menonjol, termasuk dalam pewarisan dari harta peninggalan orang tuanya. Keadaan tersebut pada dasarnya disebabkan karena anak laki-laki di masyarakat hukum adat Bali adalah berkedudukan di samping sebagai penerus keturunan, juga berkewajiban pada peribadatan keluarga. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anak perempuan, sebab anak perempuan setelah kawin akan mengikuti keluarga suaminya dan putus hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya.
Menonjolnya kedudukan anak laki-laki dalam kekeluargaan masyarakat hukum adat Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a) Faktor Magis Religius
Bagi masyarakat hukum adat Bali yang beragama Hindu anak laki-laki akan mempunyai kedudukan yang istimewa dalam keluarganya. Anak laki-laki dinamakan Putra karena dipandang sebagai juru selamat nenek moyang yang telah meninggal dunia.
Adapun maksud dari pandangan magis religius terhadap anak lakilaki karena hanya anak laki-laki / putera yang dapat mengantarkan arwah orang tuanya yang telah meninggal ke surga, yaitu dengan cara melakukan upacara pemujaan terhadap leluhurnya tersebut.
Menurut hukum adat Bali, pada perinsipnya hanya anak lakilaki yang terlahir dari perkawinan yang sah yang dapat menjadi ahli waris dari orang tuanya. Namun ketentuan tersebut dapat ditrobos dengan jalan menjadikan anak perempuan berhak mewaris sebagai anak laki-laki. Terobosan tersebut dalam hukum adat Bali dilakukan dengan jalan menjadikan anak perempuan sebagai sentana rajeg, sehingga dalam aspek hukum statusnya sebagai anak laki-laki pada penerimaan harta warisan orang tuanya.
Pada sentana rajeg penting untuk diperhatikan adalah perkawinan yang menyertainya. Seorang anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg, maka suaminya masuk dan menjadi atau mengikuti keluarga pihak istrinya.
Selanjutnya keturunan yang dihasilkan adalah merupakan pelanjut dari pihak keluarga istrinya, dengan perkataan lain dalam kekeluargaan dan pewarisan laki-laki tersebut berkedudukan / berstatus sebagai wanita.
Adapun bentuk perkawinan laki-laki dengan perempuan sentana rajeg disebut kawin nyeburin. Demikian pula dalam suatu keluarga yang sama sekali tidak mempunyai anak atau keturunan, biasanya mereka akan mengangkat anak sehingga dapatlah melanjutkan keturunannya. Dalam hukum adat Bali peranan seorang anak laki-laki dalam keluarga di Bali khususnya dalam pemeliharaan tempat persembahyangan keluarga ( sanggah / pemerajan ), melakukan ayahan di Banjar, yang tidak dapat dilakukan oleh anak perempuan.
b.) Faktor Kekeluargaan
Hubungan kekeluargaan dalam masyarakat hukum adat Bali yang memegang peranan penting adalah anak laki-laki ( garis kepurusa ). Seperti telah diuraikan di atas bagi masyarakat hukum adat Bali yang tidak mempunyai anak atau keturunan sama sekali, maka dilakukan perbuatan mengangkat anak. Oleh karena itu hukum adat Bali mengenal lembaga pengangkatan anak. Keluarga yang tidak mempunyai keturunan dapat mengambil anak laki-laki dari keluarga terdekat dengan maksud untuk dijadikan sebagai anak kandungnya sendiri. Proses pengangkatan anak tersebut harus dilakukan dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, serta dilangsungkan menurut cara atau prosedur tertentu, antara lain : diadakannya upacara pemerasan dan diumumkan dihadapan masyarakat.
Anak angkat yang demikian di dalam masyarakat hukum adat Bali disebut sentana peperasan. Kedudukan hukum sentana peperasan sama dengan anak kandung, baik dalam hubungan hukum kekeluargaan, hukum pewarisan, serta dalam hubungan kemasyarakatan. Jadi sentana peperasan atau anak angkat, adalah pelanjut keturunan serta berhak penuh sebagai ahli waris terhadap orang tua angkatnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hubungan hukum mengangkat anak pada masyarakat hukum adat Bali dapat mengakibatkan status seorang anak berubah. Perubahan ini terjadi dengan perbuatan hukum berganda, yaitu :
- Perbuatan hukum yang bertujuan melepaskan anak yang bersangkutan dari ikatan keluarganya. Biasanya dengan jalan pembakaran suatu benang, dan pembayaran secara adat, yaitu berupa seribu kepeng, dan satu stel pakaian wanita.
- Memasukkan anak itu dalam lingkungan keluarga yag mengangkat dinamakan peras.
Sebelum pengangkatan anak berlangsung terlebih dahulu diadakan permufakatan di antara pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari pihak keluarga pengangkat maupun pihak keluarga anak yang diangkat, serta memintakan persetujuan kepada anak yang akan diangkat ( apabila sudah dianggap bisa / dapat memberikan persetujuan ). Setelah mendapat persetujuan, maka niat itu diumumkan pada seluruh masyarakat hukum adat. Pengumuman tersebut dinamakan siar.
Untuk menguatkan tanda pengesahan anak itu, dibuatkan surat oleh kepala desa / lurah yang dinamakan surat peras. Surat Peras itu berisi Berita Acara Pengangkatan Anak yaitu tentang identitas orang tua angkat, orang tua kandung si anak angkat dan si anak angkat sendiri serta pengesahan upacara pengangkatannya, yang fungsinya sebagai surat bukti pengangkatan anak.
Tujuan dari pengangkatan anak dalam masyarakat adat Bali, adalah untuk melanjutkan keturunan orang tua angkat. Akibat dari tujuan ini maka anak angkat sepenuhnya menjadi anggota keluarga yang mengangkat, terutama dalam hal meneruskan kewajiban serta hak orang tua angkat. Adapun hubungan hukum anak dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Dalam perkembangannya pengangkatan anak tidak saja oleh keluarga yang utuh ( suami istri ), tetapi juga dapat dilakukan oleh janda / duda yang ditinggal mati, dan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak keluarga purusa.
Syarat-Syarat Pengangkatan anak Menurut Hukum Adat Bali
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan bermasyarakat ini, haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat dan tidak menyimpang atau melanggar hukum adat setempat. Apabila syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi, maka segala perbuatan yang dilakukan belumlah dapat dikatakan sah atau resmi adanya.
Ini bukanlah berarti manusia itu dapat semena-mena dan bebas melakukan aktivitasnya tanpa memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya. Sebagai langkah awal harus diperhatikan dalam bertingkah laku di masyarakat adalah suatu peraturan yang berlaku, baik itu dalam bentuk hukum tidak tertulis yang umumnya disebut Hukum Adat, maupun hukum tertulis.
Setiap pelanggaran peraturan-peraturan atau tata tertib yang berlaku didalam masyarakat sudah tentu ada sanksinya sebagai suatu resiko atau akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran peraturan tidak tertulis dalam masyarakat maka sanksinya dari masyarakat adat, karena masyarakat adat yang membuat peraturan tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tertulis dari pemerintah maka akan ditindak pemerintah.
Di dalam hal ini pihak yang akan mengangkat anak harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu untuk menentukan anak siapa yang akan diangkat. Setelah itu baru datang membicarakan dengan pihak keluarga anak yang mau diangkat. Apabila telah mendapat persetujuan dari keluarga anak yang ebrsangkutan dan tidak ada lagi keberatan dari pihak lain maka barulah ditentukan dari baik untuk pelaksanaan upacara Widhi Widana /pemerasan.
Syarat-syarat anak yang diangkat menurut hukum adat setempat adalah : pertama-tama anak yang diangkat atau yang mau diangkat dari lingkungan keluarga purusa, dan apabila tidak ada yang pantas diangkat dari keluarga purusa, barulah dicari anak dari keluarga predana / perempuan.
Apabila tidak ada yang mau / sama sekali tidak ada anak, barulah boleh mencari anak angkat dari luar keluarga atau masyarakat luas.
Pada umumnya anak yang akan diangkat itu diutamakan anak laki-laki dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak perempuan.
Oleh karena hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang ada atau dianut di Bali yaitu patrilineal / kebapaan dan menyangkut status dari pada anak yang bersangkutan, sehingga kelak tidak diperlukan lagi merubah status menjadi Sentana Rajeg. Oleh karena anak angkat yang bersangkutan diharapkan sekali dapat sebagai penerus keturunan dari keluarga yang mengangkat.
Adapun persyaratan yang dipenuhi dalam hal pengangkatan anak menurut Hukum adat Bali yaitu :
- Orang yang melakukan pengangkatan anak itu harus berhak untuk melakukan perbuatan tersebut.
- Anak yang diangkat itu harus memenuhi syarat.
- Harus dipenuhi syarat upacara pengangkatan anak sesuai dengan adatistiadatsetempat
Bentuk upacara yang dilakukan dalam pengangkatan anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara Widiwdana ( pemerasan ). Upacara Widiwidana ini dilaksanakan dengan membuat sajen ( banten ) pemerasan, dimana saat upacara benang tridatu pada sajen dibakar dan ditarik oleh anak angkat sampai putus.
Adapun tujuannya sebagai pemutus hubungan si anak angkat dengan orang tua kandungnya, dan membawa suatu makna memasukkan anak itu ke dalam lingkungan keluarga yang mengangkat. Akibatnya hak dan kewajiban orang tua angkat dalam bidang agama (immateriil) beralih kepada anak angkat, seperti si anak angkat mempunyai kewajiban harus mengabenkan orang tua angkat jika meninggal dunia nati serta menyembah sanggah atau pemerasan milik orang tua pengangkat. —sumber