Pengaruh Triguna Terhadap Tingkat Sradha Dalam Pengembangan Budhi Pekerti

Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa “Pengaruh Triguna Terhadap Tingkat Sradha Dalam Pengembangan Budi Pekerti” adalah :
  • Dengan memahami sifat-sifat pada diri manusia yaitu triguna dapat diketahui bentuk, fungsi dan maknanya sehingga untuk melampaui ketiga sifat ini sesungguhnya dapat dilakukan dengan cara mengikuti petunjuk dharma.
  • Berusaha merubah perilaku dari sifat raksasa menjadi sifat devata dengan memperbanyak melakukan tapa brata yoga semadhi yang teratur niscaya segala yang diajarkan dalam ajaran suci dapat segera terwujud melalui berapa siklus kelahiran perlahan namun yakin jika ini dilaksanakan setiap kelahiran berikutnya pasti akan lebih baik begitu seterusnya sehingga moksa pun dapat tercapai.
    • Berdasarkan pengertian di atas, maka bahwa setiap tindakan atau perbuatan dan pikiran yang ada di dalam diri  manusia tidak lepas dari pengaruh yang timbul dari sesuatu, baik dari pikiran maupun tingkah laku. Yang disebabkan oleh keinginan diri sendiri atau oleh pengaruh yang berada di sekitar  manusia waktu, tempat keadaan dan lingkungannya. Bila setiap orang dapat membina hubungan yang harmonis dengan Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa dengan mengikuti segenap ajaran-Nya, maka sesungguhnya akan memancar kasih sayang kepada sesama  manusia bahkan kepada segala mahluk hidup (sarvaprani hitangkara).
    • Setiap ajaran agama termasuk ritual sebagai salah satu ekspresi atau perwujudan ajaran agama mengandung ajaran untuk membina hubungan yang harmonis antara sesama umat  manusia, makhluk hidup dan alam lingkungannya
  • Analisis interpretasi justru akan mampu mengungkap makna di balik fenomena real dan abstrak. Bahkan tidak ada penelitian mana pun yang sebenarnya menolak kehadiran penafsiran. Karena, tanpa penafsiran sedikit pun sesungguhnya penelitian itu menjadi berkadar lemah. Paling tidak, peneliti tidak akan memahami apa yang hakiki dari fenomena yang tampak. Ada proposisi (dalil) yang menyatakan bahwa setiap gerak yang terpantul pada fenomena budaya penuh dengan simbol.
    • Simbol hanya akan bermakna ketika ditafsirkan. Penafsiran ini bisa hadir dari peneliti maupun orang yang diteliti. Jika hadir dari peneliti, berarti mengandalkan kekuatan teori yang bersifat positivisme, dan bila penafsiran mengandalkan pada pemilik budaya berarti mengandalan sifat naturalistik. Kedua macam penafsiran ini sama-sama kuat dan bisa dibenarkan.
    • Namun demikian, sebagian besar penafsiran yang dipandang bagus manakala hadir dari si pemiliki budaya. Tunner memberikan rambu-rambu dalam penafsiran simbol budaya, misalnya penelitian simbol ritual dapat dilakukan melalui pengkategorian data menjadi tiga kelompok;
  • Bentuk eksternal dan karakteristik dari hal-hal yang dapat diamati,
  • Penafsiran yang diberikan oleh orang ahli dan orang awam,
  • Signifikansi konteks yang biasanya dikerjakan oleh orang-orang di luar antropolog.
    • Dari tiga hal tersebut tampak bahwa; penafsiran simbol budaya membutuhkan kecermatan data. Pengolahan data perlu memperhatikan pengamatan yang serius terhadap fenomena.
    • Peneliti perlu menggali penafsiran dari para ahli dan para orang awam, dari keduanya tentu memiliki implikasi yang berbeda.
      • Keduanya saling melengkapi dalam penafsiran dan tidak boleh dipandang remeh satu sama lain.
      • Lebih penting lagi dalam penafsiran diperlukan konteks. Juga rambu-rambu yang biasa ditempuh oleh pengkaji budaya secara hermeneutik adalah seperti ditekankan Gadamer yaitu tentang konsep “pemahaman”.
      • Pemahaman berarti membuat interpretasi terhadap gejala. Tugas penafsir budaya adalah menjelaskan persoalan “mengerti”, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi.
      • Interpretasi adalah sensus non est inferendus sed efferendus, artinya makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan yang bersifat instruktif. Jadi seorang penafsir tak boleh pasif, melainkan harus merekonstruksi makna.
  • Ukuran kwalitas Triguna pada seseorang sangat tergantung dengan tiga faktor yaitu :
    • Karma wasana (perbuatan terdahulu / perbuatan masa lampau),
    • Subakarma (perbuatan baik )
    • Asubakarma (perbuatan tidak baik), kalau dirumuskan sebagai berikut :
      • (TG = KW + (SK-ASK).
  • Guna mencapai kalepasan orang terlebih dahulu harus menunaikan tugasnya tanpa mengharapkan pahalanya. Selanjutnya orang harus mempelajari weda di bawah pimpinan seorang guru yang akan memimpinnya menurut kemampuan masing-masing, sehingga orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang dirinya dan tentang Tuhan. Pengetahuan ini akan melahirkan kasih kepada Tuhan. Kasih ini harus dipelihara sehingga menjadi kasih yang tiada putusnya atau menjadi pemujaan yang terus menerus atau bhakti. Akhirnya Tuhan akan menganugrahkan karunia-Nya (prasadam). Karena karunia inilah  manusia di dalam permenungannya akan merealiasasikan Tuhan secara intuitip.
***

Sumber Referensi, dikutip dari blog post TRIGUNA DAN SRADDHA, skripsi yang ditulis oleh IDA BAGUS SADUARSA

Dalam kutipan tersebut juga terdapat istilah – istilah sebagai berikut :

  • Sad Darsana, enam pandangan filsafat Hindu, yang mengkaji keberadaan sesuatu tentang sumber dan kebenaran pengetahuan ….
  • Rajas, sifat nafsu manusia yang perlu dikendalikan, yang dapat mengikat segala makhluk sehingga mereka betah tinggal di alam material. ……
  • Etika, sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok….

sumber