SALON YANG MEMPERCANTIK JIWA

Tidak sedikit orang tua yang mengeluh berat bahwa anaknya sudah dicintai habis-habisan, tapi ujungnya bermasalah juga. Sebagian sahabat bercerita di kelas meditasi, tidak saja hartanya nyaris habis, bahkan tubuhnya pun hampir habis untuk menyelamatkan anaknya yang terkena narkoba. Dari manusia jenis ini sering muncul kesimpulan berbahaya bahwa keluarga adalah nerakanya jiwa.

Dalam bahasa spiritual yang gamblang dan ringan, ada empat tingkat pertumbuhan jiwa. Pertama mereka yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang doa. Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa saja ia berdagang. Kalau permohonan tercapai maka Tuhan berwajah baik, kalau tidak dipenuhi apa lagi dihadang bencana keluarga, maka Tuhan disebut marah. Dan dalam pandangan kelompok ini, cobaan tidak lain hanyalah Tuhan yang murka pada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses pertumbuhan.

Kelompok kedua adalah pencinta tingkat remaja. Ciri kelompok ini adalah rasa memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat. Bagi kelompok ini, tidak ada pilihan lain kecuali orang yang dicintai harus bisa menyayangi dan memaafkan. Tidak ada ruang ekspresi cinta selain menyayangi. Begitu ada wajah cinta yang lain (lebih-lebih berwajah bencana seperti anak terkena narkoba), maka mudah ditebak sebagian sahabat mulai meragukan keberadaan Tuhan.

Kelompok ketiga adalah pencinta tingkat dewasa. Cinta tidak lagi diikuti kebencian. Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan mencintai, pada tingkat ini terbalik, mencintai lebih indah dibandingkan dicintai. Sehingga cobaan, bagi jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ditempatkan sebagai hukuman, melainkan masukan tentang segi-segi di dalam diri yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, godaan adalah vitamin bagi pertumbuhan jiwa.

Kelompok keempat adalah jiwa yang tidak lagi mencari apa-apa. Bukan karena marah apalagi frustrasi. Sekali lagi bukan. Namun karena melalui rasa berkecukupan, ikhlas dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau semuanya sudah sempurna. Sehat sempurna, sakit juga sempurna. Bukankah sakit yang membuat kesehatan demikian berharga? Sukses sempurna, gagal juga sempurna. Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kehidupan yang bernama tahu diri?

Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang jauh lebih dalam? Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk tidak sombong dan senantiasa rendah hati? Sehingga dalam jiwa-jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ada kamus cobaan dan godaan. Apapun yang terjadi diberi judul sama: sempurna!.

Kembali ke cerita awal tentang kesimpulan berbahaya bahwa keluarga adalah nerakanya jiwa, semuanya terpulang pada tingkat kedewasaan jiwa masing-masing. Bagi jiwa yang masih di awal pertumbuhan, keluarga memang penuh cobaan. Namun bagi jiwa yang sudah tumbuh dewasa, lebih-lebih bercahaya, cobaan bukan tanda-tanda neraka, melainkan salon yang mempercantik jiwa. Seperti amplas yang menghaluskan kayu, seperti itu juga kehadiran godaan bagi pertumbuhan jiwa.

Penulis: Gede Prama.
Photo Courtesy: Travel Onion. |sumber