Istilah “Tar Twam Asi” dan “Tri Hita Karana” sudah sejak lama kita dengar, tetapi hal itu masih berputar putar di dalam wacana saja, sedangkan pengamalannya masih minim sekali. Mengapa kita masih berputar-putar di wilayah wacana dan belum bersungguh-sungguh melaksanakannya? Tentu karena ada faktor X yang mengganjalnya. Diantara faktor X itu, faktor keturunan yang diramu dalam istilah “kasta” adalah salah satunya. Meski istilah kasta kini sudah berubah berganti baju menjadi istilah “soroh” atau “wangsa”, namun pelaksanaannya di masyarakat masih saja terjadi diskriminasi.
Terdapat 2 soroh yang saling berbeda pendapat, sebut saja “soroh jaba” yaitu soroh di luar Puri (di jaba) dan “soroh menak’ yang berada di “jeroan” (di dalam). “Soroh jaba” merasa dirugikan oleh praktek diskriminasi dari “soroh menak” sehingga mereka menuntut kesetaraan di dalam pergaulan di masyarakat tetapi soroh menak merasa tidak ada merugikan siapa-siapa karena mereka menganggap bahwa hal itu sudah merupakan warisan tradisi secara turun-temurun dan given karena faktor kelahiran.
“Soroh jaba” menuntut kesetaraan dengan mendasarkan pada tradisi Veda (Aham Brahma Asmi) yang lumrah juga dikenal dengan istilah “Tat Tvam Asi”. Filsafat Tri Hita Karana, UUD 1945 dan hukum positif lainnya dengan tegas mengatakan bahwa semua warga Negara Republik [ndonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Awig-awig di Banjar pun mengatakan bahwa semua Krama Banjar mempunyai hak dan kewajiban yang sarna. Walaupun demikian, tetapi tetap saja “soroh menak” berkeberatan dan menuntut mendapatkan keistimewaan. Selama akar permasalahan ini belum terungkap, selama itu pula akan terus terjadi tarik menarik di antara kedua soroh itu yang berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat di Desa Pakraman.
Istilah soroh menak dan jabal sudah ada sejak lama di Bali. Hal ini menjadi perangkap maut yang mematikan dan dimanfaatkan oleh segelintir orang. Sebagaimana disebutkan dalam karya tulis I Made Kembar Kepun yang terdiri dari 15 Bab, dikatakan bahwa sejak tahun 1343 orang-orang yang cerdik pandai sudah menciptakan “perangkap maut” untuk menjebak orang-orang Bali yang bodoh yang akan dijadikan kuda beban secara turun-temurun. Perangkap itu dirakit sedemikian rupa rapinya yang terdiri dari 6 butir ketentuan berikut:
1. Larangan amada-mada Ratu (dilarang meniru-niru Raja dalam berbagai hal).
2. Larangan asisia-sisia / nyambuka (dilarang berguru dan meniru Pendeta dalam hal muput upacara dan memberikan tirta pangentas).
3. Keharusan masor singgih (kaum Sudra harus di bawah kaum Triwangsa dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat)
4. Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera” (dilarang mempelajari Agama dengan ancaman akan gila).
5. Ketakutan pada paham Raja-Dewa (Raja dipersamakan dengan Betarayang harus dituruti segala kehendaknya).
6. Ketakutan terhadap rekayasa “titah Dewa”. Dikatakan oleh para cendekiawan bahwa jika titah Dewa dilanggar akan menimbulkan bencana besar. Padahal hal itu adalah akal-akalan saja. Nama beberapa Dewa dicatut dipakai meneror pikiran rakyat agar rakyat selalu ketakutan terhadap datangnya bencana, wabah penyakit, kelaparan dan lain-lain.
Itulah bentuk “makhluk perangkap maut” yang dirancang oleh para cerdik pandai jaman kerajaan untuk melanggengkan kekuasaannya secara turun-temurun dari abad ke-14 yang menyebabkan rakyat di luar lingkungan kerajaan yang selanjutnya disebut kaum Sudra tidak bisa berkutik. Barang siapa berani melanggarnya pasti dijatuhi hukuman berat, berupa denda yang besar, dipenjarakan, dibuang keluar daerah (diselong), dijual sebagai budak kepada orang asing, bahkan dibunuh dengan kejam. Hukuman mati bisa berupa ditikam dengan keris, dibakar hidup-hidup atau dicemplungkan ke dalam laut dengan memakai pemberat batu yang diikatkan pada kaki terhukum. Kaum Sudra yang terhukum beserta keluarganya tidak berdaya melakukan pembelaan diri, hanya bisa menangis menjerit-jerit meratapi nasibnya. Begitulah “perangkap maut” itu memakan korban yang tidak terhitung banyaknya.
Larangan amada-mada Ratu/Raja dalam hal berbagai sendi-sendi kehidupan seperti dalam hal nama, perkawinan, pakaian, rumah, pekarangan, sikap badan bahkan sampai melahirkan anak kembar buncing pun bisa dihukum. Kaum Sudra dibebani banyak sekali kewajiban, tetapi hampir tidak punya hak apa pun dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kaum Triwangsa.
Larangan asisia-sisia atau nyambuka untuk Warga Pande, Pasek dan Bujangga Waisnawa walaupun sudah punya Sulinggih (Empu, Rsi) namun tidak dibolehkan “muput” upacara dan memberikan “tirta pangentas”. Walau pun untuk di keluarganya sendiri. Mereka diharuskan mendatangkan Pedanda untuk muput dan memberikan “tirta pangentas”. Oleh karena larangan ini bertentangan dengan bisama yang tercantum di masing-masing warga itu, maka warga Pande dan Bujangga Waisnawa tidak mau menurutinya. Hal ini menimbulkan perkara berlarut-larut selama 17 tahun dari tahun 1911 – 1928 yang akhirnya dimenangkan oleh warga Pande dan warga Bujangga Waisnawa.
Keharusan “masor-singgih”, kaum Sudra harus berbahasa halus kepada Triwangsa, tetapi Triwangsa boleh berbahasa kasar kepada kaum Sudra. Bila kaum Sudra berbahasa kasar kepada Triwangsa bisa dihukum. Begitu pula masalah pakaian, tempat duduk, sikap badan bentuk dan luas rumah dan lain sebagainya, kaum Sudra harus lebih rendah dari Triwangsa. Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera”, menyebabkan kaum Sudra tidak berani mempelajari Agama, karena takut menjadi gila. Hal ini merupakan obat bius yang sangat ampuh untuk melumpuhkan secara psikologi keberanian kaum Sudra agar mereka selamanya bodoh dan ketakutan.
Ketakutan pada paham Raja-Dewa, kaum Sudra yang bodoh percaya 100% bahwa Rajanya adalah memang titisan Dewa sehingga mereka menyebut Rajanya dengan sebutan lda Betara, Dewa Agung. Kaum Sudra tidak tahu sama sekali caranya membedakan antara Raja Dewa dengan Raja Raksasa. Walaupun perilaku Rajanya sewenang wenang dan tidak berperikemanusiaan, tetapi kaum Sudra tetap taat karena pikirannya sudah dibius dengan paham Raja Dewa yang harus dipujanya. Paham inilah yang melahirkan “Golpar” yaitu golongan parekan yang secara membabibuta membela Rajanya mati matian. Golpar ini merasa sangat bangga jika disayang oleh Rajanya yang dipercaya sebagai “Betera sekala” di dunia. Tetapi kaum Sudra yang cerdik tidak mau menjadi Golpar, sebab dia tahu sifat Dewa adalah penolong, pelindung dan melimpahkan kesejahteraan kepada rakyat sedangkan sifat Rajanya bertolak belakang dengan sifat Dewa.
Ketakutan terhadap rekayasa “Titah Dewa”, untuk menekan kaum Sudra agar takut melanggar keinginan Triwangsa maka pada lontar-lontar tertentu dicantumkan bahwa jika hal itu dilanggar akan menimbulkan bencana, hama merajalela yang menyebabkan gagal panen, gering (wabah penyakit), gerubug (banyak orang mati) dan sejenisnya. Untuk lebih memperkuat perangkap maut ini, maka disusunlah lontar Hukum Agama, Adigama, Kutaragama dan lain-lain.
Pada Hukum Agama ketentuannya tidak adil yaitu bila kaum Sudra yang bersalah maka hukumannya sangat berat. Tetapi bila Triwangsa yang bersalah maka hukumannya ringan. Dalam hal ini nama Bhagawan Manu dipakai kedok menetapkan demikian agar rakyat ketakutan dan taat terhadap ketentuan itu. Padahal jika kembali ke kitab suci Hindu, Veda, yang namanya hak dan kewajiban adalah seimbang. Jika raja dan punggawanya punya hak yang besar, maka jika bersalah maka hukumannya juga akan jauh lebih berat dari rakyat biasa karena dia mengetahui hukum tersebut.
Pada lontar Adigama tercantum tentang jual beli manusia. Dari sinilah timbulnya perdagangan manusia Bali kepada orang asing yang disebut dengan perdagangan budak. Perdagangan budak memberi keuntungan yang luar biasa bagi Raja Raja di Bali karena perdagangan ini tidak memerlukan modal. Raja yang berkuasa penuh dengan mudah menjual orang Bali sebagai budak kepada orang asing yang memerlukannya. Untuk memperlancar bisnis itu maka Raja bekerja sama dengan orang Cina dan orang Bugis sebagai perantaranya.–sumber