Natab Biakala adalah sebuah ritual kecil yang dilakukan umat Hindu Bali pada saat hari pengerupukan. Upacara ini dilakukan pada sore hari atau sandikala sebelum melakukan acara mebuwu buwu dan ngerupuk. Mebiakala atau sering disebut dengan Mebiakaon adalah salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi). Upacara Natab Biakaon dilakukan di halaman rumah dengan beralaskan tikar. Banten yang disiapkan adalah satu soroh biakala, prasita (prayascita), dan sesayut lara melaradan.
Rangkaian upacara ini adalah :pertama natab biakaon bersaranakan tepung tawar sebagai sarana penawar (penetralisir) kekuatan negatif yang ada di dalam angga sarira (badan). Dilanjutkan dengan kekosot / kekosok yang biasanya terbuat dari muncuk daun pandan, atau alang alang. Kekosot ini dilakukan dengan cara memutar-mutar di kedua belah telapak tangan, sehingga kekosok tersebut berputar kencang. Maknanya adalah simbolis dari menggosok atau membersihkan lapisan lapisan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran dari kekosok ini juga diyakini akan memunculkan angin baret (angin kencang) bahkan angin rebut (ngelinus) secara niskala. Angin niskala ini diharpakan mampu menghempaskan dan menrbangkan segala kekotoran (mala), segala penyakit (rogha), segala penderitaan (lara), yang melekat pada jasmani dan rohani yang bersangkutan. Setelah itu dilakukan memberikan benang barak (merah) di kaki, sebagai simbol ngeseng (membakar) dari sehananing mala (segala kekotoran) yang ada dalam diri manusia baik secara lahir maupun batin. Dilanjutkan dengan natab biakaon, yakni ayunan tangan diarahkan ke kaki atau ke bawah. Hal ini sebagai simbol pelepasan mala agar kembali ke Sanghyang Ibu Pertiwi. Simbolisasinya adalah ke arah kaki, karena kaki sebagai organ tubuh yang setiap saat kontak dengan bumi atau pertiwi. Oleh sebab itulah natab biakaon sering disebut dengan natab batis.
Rangkaian selanjutnya adalah meprasita / meprayascita yakni memohon penyucian atau pembersihan secara jasmani dan rohani yang didahulu dengan berkumur tiga kali menggunakan air bungkak nyuh gading. Selanjutnya nunas dan minum air bungkak nyuh gading sebanyak tiga kali. Dilanjutkan dengan nunas tirtha prasita. Tirtha prasita sebelumnya ditunas atau dimohon pada sulinggih. Nunas tirtha prayascita ini dengan bersaranakan lis. Lis adalah rangkaian janur yang berbentuk senjata dewata nawa sanga, sebagai sarana untuk ngelis (mengupas) atau membersihkan dan menyucikan badan secara jasmani dan rohani sejalan dengan menyiratkan tirtha prasita sehingga menjadi suci. Akhir dari prayascita adalah menyematkan sesarik / sesedep dan benang putih di kepala dan di tangan. Sesarik adalah simbol limpahan waranugraha amerta, kesejahteraan dan keharuman / kemasyuran, sedangkan benang putih adalah simbol limpahan kesucian rohani (disematkan di kepala) dan kesucian jasmani (disematkan ditangan). Sesarik atau sedep adalah beras yang direndam dengan air cendana sehingga berbau harum. Atau dalam praktek sehari-hari, sesedep sering dibuat dari beras diisi boreh miik dan air.
Tahapan selanjutnya setelah meprasita adalah natab Sesayut Pemiak Lara Melaradan. Namun untuk cepatnya biasanya para ibu-ibu hanya menyebutkan dengan Sesayut Lara Melaradan. Sesayut ini dibuat dan ditatab adalah untuk memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi agar dihindari atau dijauhkan dari sengsara / penderitaan berkepanjangan. Sesuai dengan namanya yakni Sesayut adalah simbol permohonan. Pemiak adalah pemisah atau penghindar. Lara adalah sengsara atau penderitaan. Melaradan adalah sambung menyambung / berkepanjangan. Ketika natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan, yang maknanya adalah memohon agar jasmani dan rohani ini dilimpahkan waranugraha oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa yakni dijauhkan dari segala mala dan penderitaan berkepanjangan.
Prosesi natab biakala atau biakaon ini diakhiri dengan ngukup, yakni kedua telapak tangan ditelungkupkan di atas asap pengasepan kemudian diusapkan ke wajah. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Selanjutnya hal yang sama juga dilakukan sebanyak tiga kali ke bagian badan dan kaki. Hal ini bermakna sebagai berakhirnya rangkaian acara serta telah mendapatkan penyucian dan waranugraha secara lahir batin yakni penyucian pikrian, perkatan, dan perbuatan.
Setelah melakukan penyucian diri, barulah melakukan membuwu-buwu dan ngerupuk dalam rangka nyomia Sang Bhuta Kala. Karena hanya dalam jiwa raga yang bersih dan suci yang mampu menyupat Bhuta menjadi Dewa.
Muncul pertanyaan: mengapa natab biakala dilakukan pada sore atau sandikala?. Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Pada saat ini terjadi peralihan dari kekuatan atau unsur-unsur kosmik di alam semesta. Sehingga waktu ini baik untuk dilakukan pelepasan mala (kotor) dan mengambil atau memohon pemarisuda (penyucian). Demikian juga mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala adalah sebagai waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa. Demikian juga muncul pertanyaan, kenapa natab biakaon ini dilakukan di natah / di halaman. Semua ini adalah dalam rangka memohon kehadapan Sanghyang Ibu Pertiwi agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian. Ampura. (Taksu/kanduksupatra/maret2016) –sumber